skip to main |
skip to sidebar
Pikiran Rakyat
Jumat, 20 Januari 2006
Oleh BUDI BRAHMANTYO
ADALAH seorang pangeran kelana pencari ilmu dari Kerajaan Sunda pada sekira akhir abad ke-15, pernah menjelajahi Pulau Jawa dan mengunjungi tempat-tempat keramat sepanjang pantai utara, menyeberang ke Pulau Bali, dan kembali ke Jawa Barat melalui jalur selatan. Pengelanaan sang pangeran kelana berjulukan Bujangga Manik itu, harus kita akui sebagai aktivitas wisata/penjelajahan pertama yang tercatat di nusantara oleh pribumi Sunda.
Secara luar biasa, ia mencatat lebih kurang 450 nama geografis yang masih banyak dapat dikenal hingga sekarang. Catatan dalam lembar-lembar lontar yang sekarang tersimpan di Museum Bodleian, Oxford, Inggris itu, diakhiri dengan suatu persiapan perjalanan spiritualnya ke Nirwana, di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur.
Dari beberapa penggalan sajaknya, di antaranya ia menulis sebagai berikut,
Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri maliput/ ser mangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus dibabakan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih / diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing / padanan deung pakayuan dan seterusnya.
Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Cisokan yang disebut Bujangga Manik itu, tetapi di hulu daerah aliran sungai Cisokan-Cikondang, Cianjur, satu-satunya tempat kebuyutan adalah Situs Gunung Padang. Situs tersebut merupakan suatu "bangunan" yang disusun dari tumpukan kolom-kolom bebatuan yang dibangun berundak-undak, berada di puncak bukit kecil yang dikenal sebagai Gunung Padang.
Situs Megalitik Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur dipercayai oleh para ahli Arkeologi sebagai situs Megalitik terbesar di Asia Tenggara. Pusaka budaya prasejarah di Provinsi Jawa Barat yang sangat potensial menjadi tujuan wisata budaya dan ekowisata ini, sayangnya kurang terawat dengan baik. Selain itu, jarak yang cukup jauh dari jalan negara Cianjur-Sukabumi (20 km lebih) dengan akses sempit berliku-liku dan beraspal tipis yang mudah hancur oleh satu kali musim hujan, menjadi kendala pertama para calon pelancong.
Mendekati lokasi situs, kendala lain sudah menghadang pula, tidak adanya penunjuk arah menuju lokasi situs, dan jalan perkebunan teh yang rusak atau berlapis batu tajam. Menyadari banyaknya kendala pengembangan di balik potensi wisata yang luar biasa ini, Balai Pengelolaan Purbakala dan Nilai-nilai Sejarah Tradisional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, pernah mengadakan kegiatan positif berupa "Bakti Wisata" yang diikuti oleh masyarakat dan mahasiswa. Kegiatan itu, diharapkan dapat merintis pengembangan ke arah wisata yang lebih baik dan menarik perhatian serius penanganan situs yang menjadi jalur budaya Megalitik Asia-Pasifik ini (Pikiran Rakyat, 26 Mei 2005).
Tetapi, bagi para pelancong yang ingin mendapatkan nilai lebih dari aktivitas berwisatanya, rasanya kendala tersebut justru menjadi bagian dari perjalanannya yang akan menjadi catatan pengalaman yang mengasyikkan.
Batu Andesit Basaltis
Situs arkeologi ini, sebenarnya sangat menarik pula jika dipandang dari sudut geologi. Hal ini karena batu penyusun konstruksi situs, dari segi geologi mempunyai cara terbentuk yang khusus. Selain itu, secara geografis, posisi Gunung Padang terhadap gunung-gunung lain di sekitarnya, terutama Gunung Gede, mungkin dijadikan kriteria pemilihan bukit oleh arsitek prasejarah pembangun situs ini.
Jika kita telah mencapai situs ini, kesan keagungan dan kehebatan masyarakat purbakala langsung menyergap suasana. Perasaan ini begitu kuat ketika sampai di pelataran pertama setelah mendaki tangga-tangga batu setinggi lebih kurang 30 meter dengan kemiringan hampir 40 derajat. Batu-batu berbentuk kolom poligonal ini, dipasang melintang sebagai tangga sejak kaki bukit. Di puncak bukit, pada pelataran pertama, pintu gerbangnya diapit kolom batu berdiri, sehingga benar-benar seperti suatu tempat check in.
Di pelataran undak pertama, kita dibuat takjub oleh karya leluhur kita. Betapa tidak, hampir seluruh konstruksi situs ini, disusun dari kolom-kolom batu. Banyak kolom batu mempunyai dimensi poligonal segi lima atau enam dengan permukaan yang halus. Orang awam, bisa terkecoh menganggap batu-batu ini adalah buatan tangan manusia dengan cara ditatah, padahal, secara geologis, proses alamiah bisa membentuk kolom batu yang berpermukaan halus dengan sendirinya.
Kolom batu poligonal terbentuk ketika aliran magma membeku. Sama halnya dengan terbentuknya retakan-retakan poligonal ketika lumpur mengering. Begitu pula yang terjadi pada cairan magma yang mengalir ke luar permukaan bumi sebagai aliran lava. Ketika membatu, proses-proses fisik akan membentuk suatu retakan-retakan pendinginan berbentuk kolom-kolom poligonal tersebut.
Proses demikian, adalah proses yang sama yang membentuk tangga-tangga segi enam raksasa di Irlandia yang terkenal sebagai The Giant Causeway, atau kolom-kolom tinggi di Devil's Tower di Ohio, Amerika Serikat, atau kolom batu yang menghiasi dinding-dinding galian batu di G. Selacau dan Lagadar, Cimahi Selatan. Semuanya terjadi pada saat proses pendinginan lava menjadi batuan beku yang umumnya berjenis batu andesit atau basaltis.
Di Gunung Padang, batu-batu yang berwarna abu-abu gelap ini, berjenis andesit basaltis. Gunung Padang diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala berumur Pleistosen Awal, sekira 21 juta tahun yang lalu. Keberadaan sumber alamiah kolom batu penyusun konstruksi situs, dapat dikenali jika kita mengamati kaki bukit di mana kolom-kolom batu alamiah yang bukan berasal dari reruntuhan situs, masih berserakan.
Dengan sangat cerdas, arsitek Megalitik yang diperkirakan hidup sekira 2.000 - 1.000 tahun yang lampau, telah memilih tempat yang cocok dari sisi ketersediaan sumber daya batu in-situ.
Mengarah ke Gunung Gede
Ketakjuban kita terhadap hasil karya para leluhur masyarakat Jawa Barat purbakala itu, akan semakin bertambah ketika kita terus mengamati susunan batu demi batu, serta lingkungan sekitarnya. Sang arsitek telah memilih bukit ini, mungkin dengan survei lama dan penjelajahan yang sangat jauh. Pemilihan bukit sedemikian rupa, sehingga selain adanya sumber batu yang tersedia untuk membangun tempat pemujaan ini, arah memanjang situs begitu tepat menghadap ke arah Gunung Gede (elevasi 2.958 m)!
Persis arah 10 derajat utara-barat pada kompas, panjang situs tepat mengarah ke gunung yang memang telah menjadi gunung kebuyutan dan dianggap suci dan sakral oleh masyarakat Kerajaan Pajajaran. Gunung Gede, mungkin juga di anggap sama suci dan sakralnya oleh masyarakat zaman Megalitik.
Menariknya, dengan latar belakang Gunung Gede yang jauh di utara, situs ini juga menghadap terlebih dahulu pada satu bukit yang bernama Pasir Pogor di depannya.***
Penulis, pencinta pusaka alam dan budaya leluhur, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung, staf pengajar di Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, ITB, KK Geologi Terapan.
The Jakarta Post.com
June 12, 2005
T. Sima Gunawan, Contributor, Bandung
Clad in colorful traditional costumes, dozens of children and teenagers cheerfully sing while playing unique bamboo musical instruments called angklung. Beautiful sounds fill the air, mesmerizing the audience who clap their hands in rhythm to the music.
At the end of the show, they dance together in a happy atmosphere, sharing a moment that will no doubt become an unforgettable memory.
"That's amazing. I've never heard such unique music," said Andre, a tourist from Germany.
He was one of some 40 tourists, mostly foreigners, who watched the show at Saung Angklung Udjo Sundanese Art and Bamboo Craft Center in Bandung, one of the most important tourist places in West Java.
Another Western tourist, who got a chance to dance with a toddler, seemed to be so impressed that she spontaneously took some gifts out of her bag and gave them to the little girl and her friends, while a Japanese woman asked the young artists to pose with her for a series of photo sessions.
The performance at Saung Angklung Udjo begins with a wayang golek (wood puppet) demonstration. It only lasts a few minutes, which is very short compared to the real wayang golek show that usually takes more than seven hours to perform.
The audience also learns something about traditions here with the young artists performing a khitanan (circumcision) show. In the village, there is a tradition where young boys who have just been circumcised will be entertained by children with dancing and singing accompanied by angklung music.
A mask dance and an arumba (bamboo music played in a band formation) show are performed, too.
The highlight of the whole presentation is, of course, the angklung recital. Angklung are played by shaking the instrument, and they produce beautiful sounds in harmony. The songs vary, from traditional ones like Burung Kakaktua from Maluku, to Do Re Mi (a song of The Sound of Music), and Tulpen oit Amsterdam (Tulips from Amsterdam).
The audience is invited to participate by playing along with angklung. They can even bring home a set of angklung as the musical instruments are available at the souvenir shop. Other merchandise on offer includes wayang golek, CDs of angklung music, and various bamboo handicrafts.
Saung Angklung Udjo Sundanese Art and Bamboo Craft Center (saung means thatch-roofed pavilion with no walls, like an open gazebo) is situated on a 1.5 hectare plot of land on Jl. Padasuka in the Cicaheum area. It was established in 1967 by Udjo Ngalagena (1929-2001), and his wife Uum Sumiati to increase public appreciation of the traditional art. Udjo was a student of Daeng Soetigna, the angklung master who created the do-re-mi tones for angklung in 1938.
The concept of angklung is 5-M; Mudah (easy), Murah (cheap), Mendidik (educating), Menarik (interesting) and Masal (for the masses, or common people). In other words, the center is aimed at providing an alternative musical education by means of low-priced bamboo musical instruments that can be easily learned, and that involve a lot of people who can produce an interesting show.
Saung Angklung Udjo, which won the PATA Gold Award in Jeyu, South Korea last year, has so far taught more than 1,000 students. Today there are some 150 students here. Interestingly, the parents and relatives of many students used to learn at the art center, too.
"My parents used to perform here," said Ika, 14. "And now me, my two siblings and some of my nieces and nephews learn here."
A master of ceremony at Saung Angklung Udjo, Cathy, is a student at the Padjadjaran University whose mother was also Udjo's student.
Considering the importance of interaction with the audience, students learn not only traditional songs from various parts of the country, but also some popular foreign songs as well as classical music. They also learn how to greet guests in English, German, Dutch and French.
The daily performance is held from 3:30 to 5:30 p.m. Entrance tickets for the regular show are Rp 25,000 for locals and Rp 35,000 for foreigners.
The business has been much affected by the ups and down of the country's tourist industry. Due to the tragedy of the Bali bombings in 2002, Saung Angklung Udjo experienced a really hard time. Today, it is doing well, as seen in the number of performances that are held everyday.
"Now, we perform three or four times a day," said Cathy. "In the morning, the shows are usually for kindergarten children and high school students."
Saung Angklung Udjo,
Jl. Padasuka 118, Bandung. Tel. (62) (22) 727 1714, 720 1587.
Daily performance: 3:30 p.m.- 5:30 p.m
Pikiran Rakyat
Minggu, 23 Nopember 2003
MARIBAYA berasal dari nama seorang perempuan sangat cantik yang menjadi sumber kehebohan bagi kaum laki-laki. Saking terpesona oleh kecantikannya, pemuda-pemuda di kampungya sering cekcok sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi pertumpahan darah.
ITULAH gambaran keindahan Maribaya tempo dulu. Karena keindahan dan kenyamanan wilayah itu, lokasi pemandian air hangat itu diabadikan dengan nama Maribaya. Keelokan pemandangan disertai desiran air terjun digambarkan bagai seorang gadis cantik jelita yang membuat setiap pemuda bertekuk lutut. Namun, apakah objek wisata Maribaya saat ini masih seperti dulu yang membuat setiap orang ingin menyambanginya?
Sejak mulai dikembangkan tahun 1835 oleh Eyang Raksa Dinata, ayah Maribaya, lokasi objek wisata itu berhasil mengubah kehidupan Eyang Raksa Dinata yang sebelumnya hidup miskin menjadi berkecukupan. Banyak orang yang berkunjung ke tempat tersebut. Mereka tidak hanya datang untuk berekreasi menghirup udara segar alam pengunungan dan perbukitan, tetapi banyak juga yang berobat dengan cara berendam di air hangat.
Eyang Raksa Dinata yang sebenarnya hanya ingin menghindari pertumpahan darah di kampungnya, malah mendapat berkah kekayaan setelah mengelola sumber air panas mineral yang dapat dipergunakan untuk pengobatan itu. Keluarga Maribaya memperoleh penghasilan dari para pengunjung yang datang berduyun-duyun.
**
MARIBAYA dengan luas sekira 5 ha dan berada di atas ketinggian 1.100 m di atas permukaan laut (dpl) terletak di Kec. Lembang Kab. Bandung yang jaraknya sekira 22 km dari pusat Kota Bandung. Letaknya berada di sebuah lembah yang punya sumber air panas mineral yang mengandung belerang dengan suhu panas sekira 20 s.d. 40 derajat C.
Dikelilingi hamparan pemandangan alam yang indah permai ditambah keadaan geografis Lembang yang sangat baik, membuat situasi Maribaya selalu sejuk. Temperatur rata-rata di Maribaya 10 s.d 21 derajat C. Namun, dengan segala pesona kecantikan alam yang sangat luar biasa itu, kondisi Maribaya saat ini bak bumi dengan langit dibandingkan masa lalu. Maribaya yang dulu sempat menjadi penopang hidup pengelolanya, kini justru membuat pemiliknya yaitu Pemkab. Bandung harus merogoh uang untuk mengambalikan kejayaanya itu.
Maribaya sejak awal 1980-an sudah mulai menunjukkan kematiannya terutuma sejak berkembang objek wisata Sari Ater di Ciater Subang yang juga menyajikan pemandian air panas disertai hamparan panorama indah. Hanya, letak Sari Ater jauh lebih strategis karena berada di jalan raya Bandung-Subang. Pengunjung tak perlu repot-repot sengaja masuk ke jalur wisata dan melewati Pasar Lembang yang semrawut, seperti jika hendak mengunjungi Maribaya.
Bukti ketertiduran Maribaya dapat dilihat dari besarnya pemasukan yang baru tercapai sekira 50% dari target Rp 180 juta selama 2003. Target itu kiranya sulit tercapai mengingat saat ini sudah sampai di pengujung tahun.
Dilihat sepintas saja, penginapan dan kamar rendamnya terlihat sudah kusam. Bahkan, seprai di penginapan itu ada yang berasal dari tahun 1980-an. Bayangkan, sudah belasan tahun. Kita tentu bertanya, sudah sebegitu meranakah Maribaya? Tentu, hal itu jauh berbeda dengan dulu saat Maribaya bagaikan putri yang selalu dikejar-kejar pemuda. Maribaya kini tak lebih dari sebuah pesona kecantikan alam dengan segudang potensi yang sedang "tidur".
Bukan itu saja, air Sungai Cigulung -- satu dari sungai yang melewati Maribaya -- seringkali berwarnra keruh saat musim hujan akibat erosi tanah di hulunya. Penggundulan hutan yang tak terkendali akhir-akhir ini membawa dampak buruk bagi kualitas air sungai yang melewati Maribaya. Meskipun tak terlalu parah, satu sungai lainya yaitu S. Cikawari juga mulai berwarna keruh.
Selain Minggu dan Sabtu, Maribaya nyaris tak ada pengunjung, paling hanya ada satu dua mobil yang datang. Segala fasilitas wisata seperti kolam renang dan kamar rendam air panas, pemandangan alam, air terjun yaitu Curug Cigulung, Cikawari serta Koleang, penginapan, tempat bermain anak-anak, kios cendera mata, bungalow, bar dan restoran, nyaris tak berkembang.
**
MENYADARI akan ketertiduran potensi kecantikan alam Maribaya yang segudang itu, Pemkab Bandung -- dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kab. Bandung -- menargetkan Maribaya pada 2004 sudah bisa "menggeliat" lagi seperti dulu di saat nama besarnya masih "berkumandang". Sebagai tahap awal, dalam rangka menyambut liburan Idulfitri 1424 H, Disbudpar Kab. Bandung sedang membangun bendungan untuk menampung air panas. Air panas penuh khasiat yang di masa lalu menjadi andalan Maribaya, kini seringkali tak bisa termanfaatkan akibat terbawa aliran arus dingin S. Cigulung dan Cikawari.
Oleh karena itu, pembendungan air sungai itu diharapkan mampu menaikkan air panas ke permukaan sehingga bisa dinikmati pengunjung. "Jika sungai dibendung, air panas akan naik, sedangkan air dingin berada di bawah karena berat jenis air panas lebih ringan dibandingkan air dingin," kata kepala Disbudpar Abas Bastari yang akrab dipanggil Kang Abas.
Kang Abas menegaskan projek pembendungan air S. Cigulung dan Cikawari yang merupakan hulu S. Cikapundung itu akan selesai menjelang Idulfitri 1424 H tiba. Projek pembendungan itu sebagai titik awal kebangkitan Maribaya untuk mencapai masa keemasannya seperti dulu.
Prioritas pembangunan bendungan itu karena titik awal keterkenalan Maribaya adalah sumber air panasnya yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Oleh karena itu, pengembalian keberadaan air panas itu harus dijadikan prioritas. Sambil membuat bendungan, Kang Abas juga mengatakan bahwa pihaknya akan segera membenahi segala fasilitas lainnya. "Pokoknya, sebagai tahap awal, segala fasilitas Maribaya di akhir tahun 2003 ini sudah layak kunjung sehingga bisa diandalkan dalam menyambut Idulfitri, liburan sekolah, dan Natal, serta tahun baru. Nah, pengembangan pada tahap awal itu akan terus dilakukan hingga tahun 2004," katanya.
Bukan itu saja, Kang Abas juga mengatakan di Maribaya pun akan diadakan pergelaran seni dan budaya Sunda. Jadi, pengunjung itu tak hanya bisa menikmati keindahan alam Maribaya, tetapi juga seni dan budayanya. Sambil melepas kepenatan di kala memandang keindahan atau berendam air panas, pengunjung pun akan diiringi suara tetabuhan alat musik Sunda.
Namun, usaha Disbudpar itu tentu juga harus dibarengi usaha dari pihak-pihak lain, rehabilitasi hutan di seluruh Jabar termasuk di Bandung Utara yang sedang digalakkan diharapkan mampu meminimalkan erosi di S. Cigulung dan Cikawari. Dengan demikian, bukan tak mungkin keduanya bakal jernih kembali seperti masa lalu.
Jadi, pada tahun 2004, Maribaya kembali sudah bisa menjadi salah satu wisata unggulan di Jabar. Maribaya harus bisa dijadikan sumber penghasilan yang signifikan bagi Kab. Bandung. Bukankah Maribaya pada tahun 1835 -- saat pertama kali dikembangkan -- bisa mengubah hidup pengelolanya, Eyang Raksa Dinata yang hidup melarat menjadi kaya raya? Tentu, Pemkab Bandung sebagai pengelola Maribaya di era komputerisasi ini diharapkan mampu mengulang kejayaan leluhurnya itu.
Kejayaan Maribaya sebagai salah satu aset di tatar Priangan yang diciptakan Tuhan ketika sedang tersenyum sudah selayaknya dibangkitkan kembali. Bukankah sejarah selalu berulang? (Handiman/"PR")***
Sebelum berkunjung ke Maribaya, saya sarankan anda untuk membuka alamat berikut"
Peta Lokasi
Galeri Foto
Miniatur Kampung ”Urang” Sunda
Pikiran Rakyat, Jumat, 05 Januari 2007
TIUPAN angin menerpa daun bambu. Suaranya terdengar gemerisik. Bau tanah basah terkena cahaya matahari, meruapkan aroma alam ke udara. Anak-anak tampak riang memainkan angklung. Sedangkan di luar panggung, rumah-rumah bambu siap memberikan kehangatan tropis alam pedesaan. Itulah suasana Saung Angklung Udjo (SAU) yang dapat Anda kunjungi, sekadar untuk melepas lelah sejenak sembari menikmati nuansa alam dan tradisi.
SAU terletak di Jln. Padasuka Bandung, mengarah ke timur dari pintu tol Pasteur-Pasupati. Meski keberadaannya sudah 39 tahun, belum banyak masyarakat yang bertandang ke tempat ini. Apalagi bila dibandingkan dengan angka kunjungan ke factory outlet (FO) yang saban hari dipadati pengunjung.
Tak ayal, masih banyak wisatawan nusantara yang belum mengenal secara dekat bagaimana suasana dan nuansa di SAU. Seperti diakui sebagian besar peserta "Corporate Gathering 2006" Holiday Inn yang mengikuti perjalanan wisata ke tempat ini, akhir pekan lalu.
Hampir 70 persen dari 300 peserta perjalanan ini, mengaku belum pernah datang ke SAU. Padahal, para peserta sebagian besar berasal dari Bandung dan sisanya berasal dari Jakarta. Yang notabene sudah sangat sering datang.
"Saya belum pernah ke sini, tetapi luar biasa, tempatnya sangat exciting. Nuansa alam yang kita dapatkan di sini, berbeda banget dengan keseharian kita," ujar Yati, sekretaris sebuah perusahaan garmen yang ikut serta pada perjalanan tersebut.
SAU berdiri sejak Januari 1967, dan dibangun atas dasar ungkapan cinta serta dedikasi pasangan suami istri Udjo Ngalagena dan Uum Simiati Udjo, terhadap kesenian tradisi angklung. Angklung merupakan alat musik terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara digoyangkan.
Sebagai tempat wisata alam bernuansa seni tradisi, SAU bukan saja mempersembahkan berbagai pertunjukan seni kepada pengunjung. Mulai dari pertunjukan seni angklung, arumba, tari-tarian, wayang golek, sampai kaulinan barudak (permainan anak-anak).
Uniknya, di tempat ini Anda akan menjadi bagian dari sebuah konser angklung SAU. Dengan beberapa petunjuk praktis yang diarahkan langsung pembawa acara, Anda dapat memainkan beberapa lagu. Mulai dari lagu-lagu wajib, pop, sampai senandung kenangan dari dalam maupun luar negeri.
Bahkan, dengan sangat akrab, anak-anak kecil yang menjadi bagian pertunjukan angklung SAU mengajak para tetamu untuk menari bersama. Kehangatan inilah, yang oleh sebagian besar pengunjung dirasakan sebagai keramahtamahan orang Sunda. Sebuah ungkapan kebersamaan yang akrab dan "surprise" banget!
"Wow, sangat mengesankan sekali. Dengan mudah saya bisa mengikuti permainannya dan saya pun menjadi bagian dari pertunjukan ini. Back to nature banget!" ujar Wina, peserta dari perusahaan minyak asal Jakarta.
Disampaikan General Manager Holiday Inn Bandung Rully Zulkarnain, tujuan "Corporate Gathering 2006" ini memang untuk mendekatkan member Holiday Inn Bandung terhadap seni tradisi. "Selain tentu saja untuk rehat sejenak dari rutinitas keseharian," demikian Rully.
Rully menyebutkan, peran member sangat besar bagi keberadaan hotel. Lewat merekalah costumer terbina. Member notabene memberikan berbagai informasi brand hotel kepada costumer. "Oleh karena itu, kegiatan seperti ini sudah menjadi agenda tahunan hotel. Sebagai wujud terima kasih kita kepada mereka," imbuhnya.
Keberadaan hotel memang sangat mendukung terjalinnya hubungan sinergis dengan tempat wisata. Taufik Udjo, dari SAU menyebutkan, sebelum terjadi peristiwa Bom Bali, hampir 95 % turis yang datang ke SAU berasal dari mancanegara. Sedangkan sisanya atau 5 % merupakan turis domestik dalam negeri.
Itu pun bukan sengaja datang ke SAU sebagai turis, tetapi sebagai guide ataupun operator yang menemani turis mancanegara berkunjung ke SAU. "Jumlah wisatawan dalam negeri memang minin sekali yang datang ke sini," ujarnya.
Akan tetapi, kondisi ini berbanding terbalik pascaterjadinya bom Bali. Turis asing menyusut drastis. Namun, berkat hubungan sinergis antara hotel dan tempat wisata, angka kunjungan wisatawan domestik ke SAU dari hanya 5 % melambung menjadi 50 % dari angka kunjungan total. "Jadi, sekarang perbandingannya sudah fifty-fifty, antara turis asing dan domestik," demikian Taufik.
Taufik berharap dengan semakin banyak perusahaan-perusahaan hotel yang mengajak member maupun costumernya mengunjungi wisata tradisi seperti SAU, akan semakin terbuka lebar kesempatan Kota Bandung khususnya dan Indonesia umumnya, mengenalkan berbagai kesenian dan tradisi yang menjadi ciri khas suku bangsa Indonesia.
Sesuai dengan kepentingan tersebut, keberadaan SAU tidak lagi sebatas panggung pertunjukan angklung. Tetapi sebagai miniatur kampung urang Sunda. Sebab di tempat ini, pengunjung dapat pula menyaksikan bagaimana proses pembuatan angklung dan handycraft lainnya yang berbahan dasar bambu.
Santapan yang dipesan pun, beragam jenisnya. Mulai dari makanan Kampung Sunda sampai sajian sekelas hotel berbintang. Bahkan, semua sarana dan prasarana penunjang SAU diarahkan pada standar internasional tanpa menghilangkan unsur kesundaannya.
Di bagian depan SAU, tersedia aneka souvenir dan cindera mata. Seperti angklung mini, wayang golek, kain batik, lukisan, dll. Dengan souvenir-souvenir cantik ini, para pengunjung dapat membawanya sebagai buah tangan untuk sahabat dan orang-orang tercinta. Nah, apa lagi? Bila kebetulan Anda merasa jenuh dengan rutinitas keseharian atau bosan dengan semua tempat wisata yang sudah terjajal, tidak ada salahnya sesekali bertandang ke tempat ini. Desau angin dan suara alamnya sangat membetahkan! Airnya pun bening dan dingin. Berminat? Silakan mencoba. (Eriyanti/"PR")***
FOTO RATUSAN murid SD bermain angklung di Saung Angklung Udjo (SAU) Jln. Padasuka Bandung, beberapa waktu lalu. Meski keberadaan (SAU) sudah 39 tahun, belum banyak masyarakat yang bertandang ke tempat ini.*RETNO HY/"PR"
Sebelum berkunjung ke Saung Mang Ujo, saya menyarankan anda untuk melihat Angklung Web Institute.